FEATURE
13 Oktober 2019
Aku adalah wanita yang bernama Dea, terlahir
dari Rahim seorang ibu yang ditinggal oleh suaminya. Aku disini bukan bercerita
mengenai alasan kenapa ayah pergi meninggalkanku, karena akupun sendiri
tak tau itu. Bukan hal baru lagi orang-orang
mencemooh keluargaku, namun hal ini menjadi motivasi tersendiri untuk
kehidupanku. Aku tidak sendiri didunia fana ini, ada dua saudaraku yang sudah
tidak bersekolah sejak lulus dari Sekolah Dasarnya, mungkin karena keadan yang
memaksa sehingga mereka lebih memilih bekerja untuk mencukupi kebutuhan
kehidpan ini.
Bicara pendidikan pendadapatku tak pernah selaras
dengan kakak-kakakku, “Buat apa wanita sekolah tinggi-tinggi, toch nantinya
juga kamu akan ngurusi anak suami!” bentak kakakku setelah aku memberanikan
diri untuk menguraikan keinginanku melanjutkan sekolah lebih tinggi. Seketika
suasana mencekam perasaan, aku hanya tersenyum miris dalam keadaan ini. Bibir
yang tak berani membuka lagi, hanya air mata yang mampu memahami. “Ach
sudahlah, kehidupanku adalah perjuanganku”.
Tidak lama setelah acara wisuda Sekolah Dasarnya,
Dea menerima beasiswa untuk kelas unggulan di salah satu SMP favorit di
daerahnya. Dea ternyata diam-diam mengikuti seleksi beasiswa prestasi di SMP
tersebut. Dengan wajah sumringah Dea lari untuk menemui ibunya . “Ibu… aku
dapat beasiswa”.Teriakku, dengan menyodorkan selembar kertas hasil seleksi itu.
“ya sudah terserah kamu! Gak diizinin kamu juga akan nekat melanjutkan sekolah
bukan?!”, saut kakakku yang saat itu juga berada disawah untuk membantu ibu
mencari padi sisa panen tetanggaku, dengan mata melotot menatapku tanpa
memperhatikan kertas yang ada ditanganku.
Beasiswa itu mengantarkanku lulus dari SMP sampai
dengan SMA yang sudah menjadi angan-angan setiap anak di desaku, namun
lagi-lagi aku masih belum puas akan ilmu yang sudah aku raih saat ini, sedang
pemerintah juga menganjurkan untuk sekolah minimal 12 tahun. “ach, tidak cukup
aku menjual Ijazah Sekolah Menengah Atas ku untuk mengubah kehidupan keluargaku
ini”, risauku dalam hati. Strategi untuk mendaftarkan diri mengikuti seleksi
beasiswa Perguruan Tinggi Negeri kini tak lagi berpihak kepadaku, yang
menjadikan aku harus berpikir lebih keras untuk mewujudkan cita-citaku ini.
Aku tak habis akal, menjadi pengusaha saat ini
adalah pilihanku. Dea memberanikan diri merantau keluar kota untuk memulai
usahanya dengan menjadi seoarang bakul Es Teh di salah satu swalayan. Setahun
berlalu aku berhsil mengirim uang kepada ibu di desa, dan kedua saudaraku telah
membuka cabang dari usaha bakul Es The yang aku geluti dari nol. Ilmu untuk
menjdi pengusaha ini aku dapatkan disaat aku masih duduk dibangku Sekolah
Menengah Atas pada mata pelajaran kewirausahaan, dan kini aku sudah mempunyai
lima karyawan. Entah kenapa menjadi pengusaha bakul Es Teh ini tak menjadikanku
puas akan hasil yang aku dapatkan, aku masih haus akan ilmu. Dan dengan
berjalannya waktu aku mempu membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa “sopo temen
pinemu” iya disaat semua orang ingin jadi yang pertama, mungkin ruang kedua
akan lebih lega. “ man jadda wajadda” barang siapa dia yang bersungguh-sungguh
maka ia akan mendapatkannya. Dan inilah yang aku dapatkan dalam kehidupan ini
aku berhasil memperoleh gelar Sarjana dan aku mampu meningkatkan derajat
keluarga. aku Dea, aku bakul es yang haus akan ilmu.
Kau bisa lumpuhkan kakiku, patahkan tanganku, kau
rebut senyumku, merobek hatiku, tapi tidak mimpi-mimpiku. Iya mungkin penggalan
lirik lagu bang tulus tersebut yang pantas buat kamu yang lelah akan hidup
kawan…
Nama : Maulana Rahmat Alfarkhan
NIM : G.331.17.0130
Komentar
Posting Komentar